(I)
Kita harus berhenti menggambarkan surga
Sebab di negeri kami tak pernah ada surga
Surga di negeri kami,
Bertempat di istana raja-raja
Tanah-tanah kami dijarah
Harga diri kami ditawar murah
Hak hidup kami dihinakan
Dan anak kami bukan anak bangsa ini
Kami ingin bangkit mengangkang
Apa pula yang selama ini dipertontonkan?
Orang-orang ramai berteriak keadilan
Sebagian lagi menggelapkan keadilan
Kita harus berhenti menulis puisi surgawi
Sebab tanah ulayat menjadi kuburan kami
Daya hidup kami disepelekan
Dan kami tidak lagi dianggap manusia
Intelektualitas kaum kere dilecehkan
Astaga. Sejak kapan mereka punya intelektualitas?
Orang-orang miskin tak punya intelektualitas!
Sebab mereka dilarang masuk sekolah
Kami ingin mengenal Bapak Bangsa kami
Tapi gerbang sekolah segera menutup sinis
Kami ingin mengenal sejarah nuklir
Tapi tembok universitas membuat terkilir
Ketika kami sakit kami direndahkan
Sebab kami diminta membawa surat miskin
Seolah kami ini mengemis penyembuhan
Maka kami berjanji takkan sakit!
Jikalau kami ingin bergerak
Maka tak ada ruang bergerak
Dan jika kami menuntut
Maka kami dianggap bangsa penuntut
Lantas apa yang harus kami lakukan
Lantas apa yang anak kami harus lakukan?
Kami mencoba menggelandang
Kami mencoba menggarong
Kami mencoba melacur
Ya, jangan salahkan jika kami coba semua itu!
Kita bilang ini negeri kaya
Seolah kami ini kasat mata
Perumahan eksklusif begitu sering dibangun
Dan pedagang kakilima sering sekali digusur
Kita bilang negeri ini makmur
Tapi harta kami dirampok cukong
Dan jika kami coba-coba ikut merampok
Kami akan dipukuli di penjara
Ini pembelaan kami
Pembelaan atas hak hidup kami
Pembelaan atas daya hidup kami
Telanlah dengan mulutmu pleidooi kami!
Kami akan membela diri
Sebab ini semua bukanlah ulah kami
Dan biarkan kami menjadi orangtua yang bertanggungjawab
Atas masa depan bayi-bayi yang lahir dari rahim kami.
(II)
Kita harus berhenti menganggap penguasa sebagai tuhan
Sebab Tuhan tidak bersemayam dalam ruh mereka
Kita akan berhenti menganggap kecoa-kecoa politik sebagai ratu adil
Sebab kami diadili karena mencuri kakao tiga biji
Kami akan mempersilahkan,
Silahkan umumkan segala macam programa
Kami ijinkan menyiarkan segala rencana
Pakailah nama kami dalam kertas pidato kalian
Parpol-parpol yang bersemayam di langit,
Kan kami biarkan mencuri nama kami
Dan tokoh-tokoh yang mengaku reformis
Kami beri kebebasan mencatut nama kami
Silakanlah bertarung dalam pemilu
Dan kami akan pergi memancing di kali
Silahkan menanti hasil hitung cepat
Kami ’kan rekreasi ke kebon binatang
Sekolah tidaknya anak kami bukan perkara Presiden baru
Istri kami yang hamil lalu ditolak rumah sakit bukan karena menteri belum bekerja
Dan ramainya rumah bordir oleh saudari-saudari kami
Bukan lantaran kami tak mengamalkan Pancasila
Kami adalah rakyat, bukan massa
Kami ini hidup, bukan jenazah
Dan kami akan mempertahankan daya hidup kami
Yang samasekali tak bergantung pada budi baik para birokrat
Dengan santai mereka bilang kami banyak mengeluh
Dengan becanda mereka katakan kami miskin karena kami bodoh
Dengan makan pop-corn mereka berujar kami sulit tuk diberdayakan
Dengan menguap mereka tekankan bahwa kami tak punya jiwa entrepreneur
Tapi coba jelaskan bagaimana hutan kami dijarah cukong sahabatmu
Coba terangkan bagaimana bisa intan permata kami diangkut ke kantormu
Sekaligus ceritakan mengapa sawah kami dikuasai pemodal dari kotamu
Hingga kami orang-orang miskin kehilangan nafkah
Kami persilahkan soal hidup kami kalian diskusikan di meja kantormu
Silahkan adakan diskusi nasional dan perdebatkan nasib kami
Sementara kalian berdebat soal kemiskinan dan kebodohan
Kami pukuli anjing orang kaya demi makanannya…
Januari 10
Posted by madlion on February 12, 2011 at 6:58 pm
matur tengyu i……:D
Posted by hendra on February 12, 2011 at 6:59 pm
Mantap puisinye 🙂
Posted by alfian2006 on February 13, 2011 at 9:10 am
melankronis bgt ciiiiiiiiiih bos
Posted by triadmono on February 13, 2011 at 9:17 am
puisi yang sangat menarik untuk dibaca. terus terang, saa pribadi sangat terkagum kagum dengan gaya bahasa penuturan disetiap barisnya. sangat jujur, sangat mewakili dan merupakan ungkapan yang spontan mendalam.
lanjutkan karya karyamu kawan. saya yakin, suatu saat nanti dirimu menjadi apa yang kau cita citakan.
salam OI
triadmono
Posted by Ivan O.I. Setiawan on February 13, 2011 at 9:19 am
Makasi Mas Tri,,, 🙂
Posted by Bowo on February 13, 2011 at 10:16 am
Mantap van, revolusi!
Posted by hendra on February 13, 2011 at 4:09 pm
Sungguh jelas tergores dan muncul maksud dari puisi anda diatas,bahwa selama ini memang pemerintah kurang berpihak rakyat.
Kritik yang cukup tajam,bagi kapitalisme dan KKN.
Posted by Khairuddin on March 2, 2011 at 7:04 am
Menarik sekali cara bung Ivan menggambarkan situasi kekinian di negeri ini, dalam suatu puisi yang menggugah nurani. Harusnya para penguasa kita membaca puisi ini.
Salut sungguh!
Posted by habibi on March 4, 2011 at 3:42 pm
kau tak bisa menciptakan lapangan pekerjaan, maka ku berjualan di pinggir jalan,tapi kau kirim satpoll PP untuk mengobrak abrik dagangan kami, dan kamipun mengamen, kau sita gitar kami dan kau tangkap kami, kamipun mengemis, kau tangkap lagi kami, dan kau pulangkan ke desa kami,ternyata desaku sudah terkubur lumpur lapindo,
Posted by adek/ari on May 16, 2011 at 12:06 pm
eh, ada yang pernah ngomong nang aku “percuma, aku bodo mbak dadi mau ngomongya pasti kalah sama orang-orang pinter, lha, wong aku bodo”
sakjano ironi menurutku, tapi kok rasae juga dia sendiri yang merendahkan diri sendiri..Menurutku wakeh poll orang-orang yang masih berpandangan koyok ngene..tidak heran mereka dijajah..
Tambah apik ae blogmuuu.
Posted by nao on June 9, 2011 at 10:58 am
dalem. . .bermakna. . . top!!. . . 🙂