Sudah lama sekali saya tidak menulis. Kesibukan duniawi memang cukup ampuh membuat kita terheran-heran; kita mengaca dan mendapati sosok yang kita tatap di cermin bukanlah sosok yang kita kenal selama ini. Kita kehilangan diri kita sendiri.
Namun dibalik menghilangnya saya dari dunia pemikiran dan penulisan, ada sebuah hikmah dan pelajaran kehidupan yang sangat berharga, yang insya Allah bisa saya sibak sepersekian persen: betapa ternyata jabatan seringkali membuat kita lupa, lupa, dan lupa. Jabatan adalah sahabat popularitas, dan keduanya adalah candu paling efektif dalam memabukkan manusia. Apabila manusia mabuk, maka sudah pasti ia akan lupa.
Kita ingat kita lahir tanpa jabatan apapun. Seorang pejabat negara misalnya, tidak dilahirkan dengan gelar apapun. Tidak ada ceritanya seorang bayi merah yang baru keluar dari rahim ibunya langsung bergelar Prof. Dr Amin SH Mpd dst. Juga pemimpin sebuah perusahaan besar sebetulnya tidak punya jabatan apa-apa ketika dia masih berada dalam keadaan dimana dia berjanji pada Tuhannya untuk senantiasa bersyahadat dalam keadaan apapun di kehidupan yang akan ia jelang nantinya. Ia adalah kemurnian, yang masih putih suci sebelum disentuh tangan-tangan kotor dunia.
Namun sudah sedemikian derasnya dunia menyeret kita untuk berada pada posisi yang semakin menjauhkan kita dari hakikat diri kita sendiri. Kita juga ditipudayai agar kita menikmati kursi, tahta, singgasana, posisi, yang disediakan dunia untuk kita, dengan segala kemegahan dan janji-janji keabadian didalamnya. Kita duduki, lalu kita melongok ke bawah, sambil diam-diam menyadari; betapa indahnya kehidupan ini jika ditengok dari tempat baru kita ini. Maka tak heran, seringkali berbondong-bondonglah kita mengantri dengan penuh semangat sebuah kursi, bahkan jika perlu kita sikut kiri kanan sambil menebar kengerian luar biasa diantara sesama kita. Kita mengejar dan mengejar, dan sesudah mendudukinya, kita kan menyeringai dengan penuh kebanggaan; alangkah hebatnya kita yang mampu menyingkirkan sekian pesaing, betapa tinggi prestasi yang kita ukir, dan amatlah pantas kita sekarang menikmatinya, dan tanpa sadar, hakikat diri kita sebenarnya sudah beranjak menjauh pada detik dimana kita menepuk dada.
Namun, percayalah, semua itu sebenarnya hampa, kosong, sunyi, tanpa makna. Jabatan setinggi apapun akan membawa kita semakin jauh dan jauh dari diri kita, membuat kita melupakan serpihan-serpihan cerita bersahaja yang dulu kita jalin. Ia membuat kita mengernyit heran dan tak mengenali sosok yang kita pandang di cermin. Ia membuat kita tak mengenali suara yang kita ucapkan, tangan yang kita gerakkan, dan kaki yang kita langkahkan. Betapapun besarnya kenikmatan dan luasnya keindahan sebuah jabatan, semua itu sebenarnya hanyalah kesemuan-kesemuan belaka, yang dihias sedemikian indahnya, lalu kita dengan amat bodohnya mempertahankan semua kekonyolan itu demi eksistensi kita di mata manusia.
Lalu pertanyaannya, jika kita sebut Tuhan itu kekal, maka beranikah kita kehilangan atau bahkan meninggalkan jabatan yang kita genggam saat ini, jika patokan kekekalan suatu hal adalah Tuhan, dimana selain Dia adalah keniscayaan-keniscayaan yang pasti akan lenyap? Siapkah kita kehilangan semua itu? Simpanlah pertanyaan itu dalam hatimu, hai saudaraku….