Ada kecenderungan aneh yang menghinggapi sebagian besar anak cucu Nabi Adam, yang mungkin hal ini kurang disadari, dipelajari, dan dipahami dengan benar, yakni kecenderungan untuk takut dicitrakan sebagai orang miskin. Jadi mohon jangan dulu bicara soal takut (jatuh) miskin atau apapun, karena sebagai bagian dari bangsa yang amat mendewakan simbolisme dan filsafat ‘kelihatannya sih’, kita ngaku nggak ngaku ya memang punya paranoia semacam itu. Dicitrakan miskin saja kita ogah beibeh.
Secara simbolis, orang miskin selalu digambarkan berpakaian sederhana, atau kalau tega blak-blakan dan sedikit menggeneralisasi ya: kumal, kucel, lusuh, sobek-sobek, bau, dekil… Pendidikan orang miskin dicitrakan sebagai lulusan SD atau tak pernah sekolah, dan kalau ada orang miskin yang sampai mampu kuliah dan menggondol gelar sarjana; dunia seolah mengernyitkan dahi angkuhnya. Sektor kesehatan orang miskin dibangun dari konstelasi pil-pil dan kapsul-kapsul murahan di warung-warung pinggir jalan, dan tidak ada ceritanya orang miskin mampu berobat ke Singapura.
Dalam aneka tulisan, lagu, puisi, dan lain sebagainya, tukang becak amat mewakili citra kemiskinan. Sering kita dengar ungkapan semacam: dari tukang becak hingga Presiden… atau …Walaupun dia hanya seorang tukang becak, namun hatinya baik… atau lagi … bapak saya hanyalah seorang tukang becak yang tak pernah mengenyam pendidikan… Silahkan itu Anda panjangkan sendiri berdasarkan pengalaman pribadi Anda soal tukang becak dan kemiskinan dan carilah jawaban mengapa tidak ada fresh graduate lulusan universitas top yang mau menekuni profesi tukang becak yang mulia itu. Perkataan walaupun dia hanya seorang tukang becak, namun hatinya baik sebenarnya memiliki sisi gelap yang isinya adalah kesinisan luar biasa pada tukang becak dan kemiskinan, sebab kata ‘walaupun’ mengimplikasikan seolah tukang becak dan orang miskin umumnya berhati jahat.
Kumal, kucel, lusuh, bodoh, kurang iman, tak paham komputer, tak punya masa depan, itu semua adalah citra-citra yang dimiliki orang-orang miskin, yang secara sinikal, ‘orang miskin’ sebenarnya disinonimkan dengan ‘rakyat jelata’. Dan semua itulah pula yang hendak ditolak oleh sebagian kita. Anda mungkin tidak termasuk ke dalam kelompok orang yang ogah memakai pakaian sederhana dan murahan, yang kemana-mana kalau bisa pakai pakaian yang bergaya, berselera, rapi, sopan, dan seterusnya; sebab anasir-anasir terakhir itu tidak dipunyai orang-orang miskin yang tak punya daya macam apapun untuk bergaya dan berselera. Nah, pakaian sederhana dan murahan itu bukanlah hal utama yang Anda hindari, tapi citra kemiskinan dibaliknyalah yang sebenarnya Anda hindari karena Anda menolak dicitrakan sebagai orang miskin.
Mungkin sebagai orang terpelajar dan terhormat, Anda bisa berargumen semacam: saya ingin menghargai diri saya sendiri dengan berpakaian yang bergaya dan rapi! Ya monggo, itu memang hak Anda. Tapi semua itu akan kembali pada niat kita yang paling dalam. Apakah kita susah payah bersekolah belasan tahun karena kita memang sangat mencintai ilmu atau hanya demi menghindari kemiskinan melalui jalur pendidikan. Apakah kita senang bergaul dengan kalangan atas dan orang-orang top dan kaya cuma supaya kita kecipratan yang baik-baik darinya, walaupun itu hanya sekedar citra ‘wah’ di mata orang, sekaligus kita sukses menghindarkan diri dari menggauli orang miskin dan citra-citra ‘buruk’ yang melekatinya? Wallahu’alam.