Apa yang menarik bagimu dari membicarakan kemiskinan rakyatmu, saudaraku? Bukankah lebih enak bagi kita berbincang soal ideologi, masa depan, teknologi terbaru, hakekat kehidupan dan kematian, celana dalam artis, atau istri tetangga yang kesepian.
Saya membikin karangan ini dengan asumsi dasar bahwa Anda yang masih bisa membaca tulisan ini adalah bukan orang miskin, atau minimal bukan orang yang diburu dan dikejar-kejar soal makan dan razia pamong praja setiap hari. Dan judul diatas sebenarnya adalah undangan bagi nurani Anda masing-masing untuk mendefinisikan makna kemiskinan.
Apakah kemiskinan adalah hal yang biasa kita perbincangkan dengan santai pada sore hari sambil menikmati teh? Ataukah dia yang berbaris-baris dalam buku progama Anda sebagai wakil rakyat? Ataukah ingatan Anda langsung tertuju pada Nabi Muhammad dan Yesus?
Tak usah berumit-rumit, ambil satu contoh saja. Misalnya soal gelandangan. Jika kita menelusuri beberapa pinggiran jalan raya di kota, terutama menginjak pukul 12 malam, akan tampak berderet-deret gelandangan alias tunawisma (homeless) yang tidur meringkuk dibawah dingin yang menggigit. Dari tahun ke tahun, pemandangan semacam itu hampir tidak berubah bahkan cenderung semakin parah.
Adapun ketika shalat Ied di sebuah masjid agung kota beberapa waktu lalu, Pak Walikota dengan bangga berkhotbah tentang kemajuan kota. Saya dalam hati bertanya, mengapa soal gelandangan ini tidak pernah disinggung dalam pidato-pidato para pemimpin tingkat apapun?
Sedangkan Pak ketua takmir masjid agung juga tak mau ketinggalan menceritakan tentang proyek pembangunan masjid ini yang direncanakan akan dibangun sampai empat tingkat. Lagi-lagi saya bertanya dalam hati, apalah artinya kemegahan bangunan ini manakala banyak sekali kaum miskin berseliweran di sekitar masjid?
Ingatan saya langsung tertuju pada sebuah masjid yang dulu dibangun dengan amat sangat sederhana oleh Rasulullah SAW, yakni Masjid Nabawi di kota Madinah. Konsep bangunan ini sebetulnya sangat pro rakyat, karena disamping bangunan sederhana itu Rasulullah juga membangun satu ruangan khusus yang fungsinya adalah untuk menampung kaum fakir miskin yang tidak punya tempat tinggal. Alangkah indahnya kebaikan hati beliau!
Saya berpikir, bukankah Masjid Jami’ (dan masjid-masjid besar lainnya) memiliki banyak sekali donatur dan jamaah yang dermawan. Apakah tidak pernah terpikir untuk membangun ruangan khusus bagi fakir miskin sebagaimana dicontohkan Rasul tersebut. Sebab fenomena unik ini hampir selalu terjadi di setiap masjid, dimana kaum fakir miskin selalu mengantri didepan masjid meminta-minta sedikit sedekah dari para jamaah, dan hal itu sebetulnya bersaing dengan kotak amal pembangunan masjid.
Adakah hal yang dapat dibanggakan dari kontrasnya pemandangan di depan rumah Allah itu? Mengapa soal pembangunan mall, masjid, perumahan elite, kampus elite, Pemkot, investor, dan segala pemangku kepentingan hampir selalu seia-sekata. Namun untuk pemberdayaan gelandangan dan pengemis selalu dianggap wasting time dan wasting money, alias buang-buang waktu dan duit. Saya amati, cara penanganan gepeng selama ini cukup linier; dirazia, didata, ‘dibina’, lantas dicampakkan lagi ke jalanan.
Saya mahfum dengan pola pikir semacam itu, namun andai saja beliau-beliau ini tahu daya hidup gelandangan dan pengemis yang tahan banting sangatlah memungkinkan untuk diberdayakan dan dikaryakan demi kemajuan mereka sendiri. Semua ini sebetulnya tidak perlu sampai terlalu jauh menjangkau ke era Rasulullah, seandainya dalam dada orang-orang kota dan para pemimpinnya masih tersimpan hati nurani dan empati kemanusiaan. Ingin benar suatu saat kita bisa duduk bersama berbicara tentang kemajuan kota setelah tak ada lagi kaum-kaum marjinal disepanjang jalan raya kota.
Itu baru soal gelandangan. Bagaimana dengan ratusan bentuk kemiskinan lainnya? dengan berat hati saya simpulkan, kemiskinan mungkin adalah sejenis iblis dajjal jin setan demit yang tak pernah bisa kita ‘tempeleng’ mukanya, dan dengan bangga pula kita masih mengaku sebagai insan berakal, berbudaya, dan beragama… Maha Suci Allah.