Dalam surah Al-An’ām ayat 32, Allah SWT membongkar satu rahasia: Wa mal hayatud dun-yā illa la’ibuw wa lahwun. Walad-darul akhirotu khoyrul-lilladziina yattaqūn. ‘Afala ta’qilūn. “Dan kehidupan dunia ini, hanyalah permainan dan senda gurau. Sedangkan kampung akhirat itu, sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu mengerti?”
Kalau ada yang keberatan dengan ayat itu, ya monggo protes langsung ke Yang Bikin. Bagaimana ini, kok kita yang bersusah payah membanting tulang menipu timbangan menjegal kawan demi mempertahankan kehidupan dunia, ternyata oleh Yang Membuat, dunia yang kita pertahankan mati-matian itu hanya dianggap ‘la’ibun wa lahwun’, permainan dan senda gurau.
Dan juga mengapa sebagian kita berhasrat setengah mati mendirikan Negara Islam (darul al-Islam) hingga terpaksa kita memecah belah diri sambil memurtadkan dan mengkafirkan saudara seiman, sedangkan kata ‘darul’ dalam ayat diatas bahkan hanya dimaknai sebagai ‘kampung’ oleh Allah, itupun bukan kampung dunia atau juga negara agama, melainkan darul akhiroh, kampung akhirat. Kata ‘islam’ sendiri sebetulnya berarti ‘damai’; darul al-Islam itu kampung/negeri damai, bukan kampung/negeri orang-orang Islam, apalagi negara (state) Islam. Kan ada beda serius antara negeri sama negara, tapi itu tak usah dibahas disini.
Dan mengapa demi mendeklarasikan kemunafikan kita, dimana di satu sisi kita mengaku bertauhid, tidak berani-berani menyekutukan Allah, padahal dalam praktek kehidupan sehari-hari, betapa banyak sekutu Allah yang kita ciptakan, kita sembah, sambil berkilah dengan penuh kekhusyukan bahwa kita sebenarnya masihlah beriman pada Allah dan Hari Kiamat.
Kalau kita butuh sesuatu, kebanyakan mintanya juga bukan pada Allah. Saat butuh keamanan finansial, kita beristiqomah mendekatkan diri pada atasan, pengusaha, pencoleng, cukong, parpol, atau siapapun yang berharta. Butuh jaminan harga diri dan status sosial, kita bisa berdoa pada para pejabat atau orang terkemuka lainnya. Butuh usaha lancar ya tinggal bakar menyan, butuh kesembuhan ya tinggal berdzikir pada para pemegang segala benda keramat jampi-jampi tujuh gunung; sambil tetap berucap bahwa segala kekayaan, keamanan, kemuliaan, kesembuhan, datangnya dari Allah, hanya cara mencapainya yang berbeda. Toh ilmu pesugihan sesugih apapun juga yang bikin Allah. Sunah yang diamalkan sebetulnya juga bukan Sunah Nabi, tapi sunah selebritis, sunah politisi, sunah pihak pemberi utang, sunah pakar kesuksesan dan kekayaan, sunah orang yang ‘kelihatannya alim’ dan ‘kelihatannya berwibawa’. Semuanya itu, sebenarnya adalah upaya-upaya busuk kita mempertahankan kehidupan yang tak kalah busuknya.
‘Afala ta’qilūn itu artinya apakah kalian tidak menggunakan akal?. Lihatlah, sampai-sampai Tuhan bertanya retoris pada kita, ‘Tidakkah kamu mengerti?’, tidakkah kamu ngeh? Don’t you understand? Betapa bodohnya manusia itu yang memuja-muja kehidupan, sementara yang disebut kehidupan itu sebenarnya adalah akhirat. Kalau boleh pakai perspektif radikal Syekh Siti Jenar, kehidupan di bumi ini sebenarnya adalah kematian, sebab kalau disebut ‘kehidupan’, mengapa nanti kita bakal mati dan dibangkitkan dari ‘kematian’? Sedangkan di akhirat kita takkan kenal kosakata ‘mati’, maka itulah yang disebut Syekh sebagai kehidupan yang sesungguhnya.
Kita ternyata amat menyeriusi dan menghayati dalam-dalam apa yang disebut Tuhan sebagai permainan dan senda gurau itu, yakni kehidupan. Dan yang patut digarisbawahi, keseriusan dan penghayatan itu fokus utamanya adalah di kehidupan itu sendiri, bukan Hereafter, alias darul akhiroh. Kita langsung berbagi peran, menggabungkan diri dalam sekte-sekte kesempitan berpikir yang satu sama lain saling memusuhi, seolah dalam permainan memang harus ada ‘kawan’ dan ‘lawan’. Hingga terciptalah apa yang disebut sebagai penyelenggaraaan kemungkaran diatas kemungkaran, pengrusakan diatas pengrusakan, kebodohan diatas kebodohan, kesesatan diatas kesesatan.
Kelompok tersisa adalah mereka yang benar-benar paham apa makna la’ibun wa lahwun sehingga mereka tak merasa perlu berlama-lama diri dalam keriuh-gaduhnya dunia dan mulai bercocok tanam demi panen raya akhirat. Bukan berarti kelompok terakhir ini adalah mereka-mereka yang berkelana dalam alam tasawuf dan tarekat di pikirannya sambil melupakan realitas dan persoalan-persoalan nyata dunia. Tidak demikian. Mereka adalah pasukan Allah yang bergerak di segala lini kehidupan, menanami tunas-tunas kecil kebaikan diantara pohon-pohon tinggi kemungkaran, menyemaikan tetesan-tetesan kasih sayang diantara samudera-samudera keangkuhan, serta merangkul siapapun yang terinjak-injak untuk diusap lukanya. Semua itu adalah tanaman-tanaman ketakwaan yang ditanam di dunia dan nanti akan dipanen di akhirat. Merekalah kelak para penghuni darul akhiroh yang berhiaskan ridha Allah. Mereka dijodohkan dengan kehidupan akhirat.
Maka kalau masih ada yang menyeriusi dunia, memberhalakan kehidupan, dan mempertahankan rumbai-rumbai perhiasannya dengan seribu omong kosong dan kemunafikan nyata; monggo, dunia ini milik kalian. Kalian berjodoh dengannya. Wassalam.
Posted by mypoor on May 7, 2011 at 2:28 am
Memang sesungguhnya manusia akan kembali kepada peradaban yg menjadi asal habitatnya, dunia ini bukan tempat tinggal manusia, lupa buat balik keperadabannya sendiri karena memang yg dicuci kotoran, penghuni negeri nan indah damai yg sesungguhnya tetap kembali pada habitat, di negeri yg memp peradaban tinggi ditempat yg tinggi.
Posted by mypoor on May 7, 2011 at 2:34 am
eh sory, ane lagi ngeklik iklan, titip lagi nih, kotoran tempatnya di tempat sampah, yg bersih disimpan di dalam rumah, sayang kalo kotor…ane lanjut istiqomah ngeklik recehan….wkwkwk