Dengan amat terpaksa saya tuliskan satu kritikan kepada para ulama, da’i, mubaligh, dan siapapun para juru dakwah, yang demi Allah semua ini saya lakukan hanya lantaran kecintaan saya kepada beliau-beliau; penjaga garis depan akhlak dan akidah umat, semata-mata demi kemajuan dakwah di masa depan yang lebih memihakkan diri pada kaum yang lemah, -bukan hanya secara retorika keagamaan, namun juga tindakan nyata; hingga nanti kita tidak hanya kenal kosakata ‘berdakwah’, namun juga ‘mendakwah’: bersatunya kata, teladan, dan perbuatan.
Ballighu ‘anni walau ayah, sampaikanlah dariku meskipun satu ayat. Itulah wejangan Rasulullah SAW. Jika saya tafsirkan, sabda beliau ini mengandung semacam pesan moril pada siapapun umat Islam untuk senantiasa berdakwah; mengabarkan kebenaran. Dakwah adalah panggilan, seruan, dengan hikmah dan hasanah. Ud’u ilaa sabilii rabbika bil hikmah, wal mau’idhotil hasanah, wa jadilhum billati hiya ahsan.
Walau ayah itu tidak bisa diartikan ‘walau hanya satu ayat’ dalam artian harfiah, atau bahkan ratusan ayat sekalipun. Walau ayah bukan berarti Anda memanggil seseorang lantas membisikkan, “Yaasiin” atau “Alif Lam Miim” lantas tugas Anda selesai. Atau Anda berdiri di mimbar membacakan sepuluh surah panjang sekaligus berikut arti dan tafsirannya ditambah hadits-hadits Rasulullah dan tafsirannya, serta tak ketinggalan setumpuk ilmu fikih, serta-merta tugas dakwah Anda beres. Tidak demikian. Dakwah itu bukan hanya kata, tapi juga teladan dan perbuatan.
Dakwah atau ‘panggilan’ itu pada dasarnya bersifat netral, ia bisa saja baik ataupun buruk. Misal saya ini seorang PKI, saya doktrin Anda tentang nilai-nilai Marxisme sekaligus menyeru pada kudeta, itu juga bisa disebut dakwah. Dan dalam konteks Islam, dakwah diartikan menyeru pada kebenaran, pada jalan Allah.
Saya berani sumpah, menyeru pada jalan Allah (berdakwah) samasekali tidak membutuhkan Anda bergelar da’i atau muballigh terlebih dahulu, menumbuhkan jenggot (i’fa’ al-lihyah), bergamis, bersorban, dan menenteng tasbih kemana-mana. Juga tak diperlukan serentetan gelar: Ustadz, Syekh, Habib, Maulana, Kiai, dst. Atau perlu mondok di pesantren, bergabung dengan ‘Badan Dakwah Islam’, atau wadah-wadah perdakwahan lainnya. Yang patut diingat, substansi dakwah adalah kualitas rohaniah dan intelektual, bukan status sosial budaya. Maka sebetulnya, semua manusia adalah juru dakwah sekaligus objek dakwah dalam semua segmen masyarakat dan segmen kehidupan.
Berangkat dari pemahaman demikian, dakwah masa kini dituntut tidak hanya berputar-putar pada soal akidah, surga-neraka, fiqh, dan lainnya. Dakwah kini menuntut juga para pelakunya untuk terjun langsung ke titik konsentrasi permasalahan umat. Segala permasalahan umat, kemiskinan dan kemaksiatan misalnya, tidak akan selesai dengan pembacaan kitab kuning dan kitab tafsir. Dalam masyarakat awam, teladan dalam wilayah praksis jauh lebih ‘bekerja’ ketimbang kata-kata membumbung tinggi.
Jika sudah demikian, maka posisi sosiologis ulama dengan umat adalah setara. Ulama hanya unggul dalam hal ilmu agama, namun kenyataan itu tidak serta merta menjadikan ulama hanya sebagai tukang cerita dan tukang suruh di balik mimbar. Kalau demikian, lantas apa bedanya ulama dengan pejabat pemerintah yang hanya bisa berkoar tanpa bisa bertindak? Mereka tak lebih hanya berposisi sebagai penyuluh, bukan pelaku apalagi agent of change. Maka diperlukan sedikit sikap ‘tahu diri’ dan ‘tahu tujuan ilmu’, dimana para ilmuwan Islam tersebut dituntut untuk ‘tahu diri’ tentang hakekat eksistensial dirinya dalam wilayah-wilayah sosial, hingga ia sampai pada kesadaran pertanggungjawaban atau konsekuensi logis dari ilmu-ilmu yang sudah dikuasainya dalam bentuk penerjemahan wilayah teroritis ke wilayah praksis.
Sejenak boleh kita menengok bagaimana kehidupan Rasulullah, yang berposisi sangat ganda dalam kehidupan kaum Muslimin; sebagai Rasul, Nabi, pemimpin, dosen, keluarga, sahabat, negarawan, panglima serta prajurit perang, hakim, moralis, rakyat jelata, psikolog, psikiater, dokter, dan pembantu umum segala urusan. Jadi tak ada sejarahwan mahzab apapun yang mencatat orang yang namanya Muhammad ini kerjanya hanya menyampaikan kalam-kalam Tuhan tapi acuh tak acuh pada wilayah praksis kehidupan umatnya. Sejarah justru mencatat bahwa tak ada satu orangpun di dunia ini yang dipercayai umatnya dalam semua urusan selain Nabi Muhammad SAW. Beliau bukanlah teoris, tapi praktisi multitasking.
Maka pada siapa lagi para penerus syi’ar agama ini mengacu kalau bukan pada beliau? Itulah yang pernah dicontoh kemudian diimplementasikan oleh KH. Ahmad Dahlan, Hadlatus Syekh Hasyim Asyari, Tjokroaminoto, Cak Nun, dan lainnya, yang tak hanya mengerti kutub-kutub keilmuan dalam dunia Islam, namun juga paham apa yang harus dilakukan bagi umat yang menghadapi persoalan-persoalan serius dan nyata. Wassalam.