Pada sebuah kesempatan, Nabi Besar Muhammad SAW bersabda, “Kefakiran itu kebanggaanku dan aku mulia dengannya”, juga “Kefakiran adalah kemuliaan bagi pemiliknya”. Dan di lain kesempatan, beliau bersabda, “Kepada-Mu aku berlindung dari kefakiran” dan “Kefakiran itu dekat dengan keburukan”. Sekilas pandang, jangan langsung Anda simpulkan bahwa Rasulullah tidak konsisten dalam berucap, sebab Rasulullah sungguh terjaga dari kesalahan fatal semacam itu.
Kefakiran yang dimaksud pertama adalah kefakiran dalam artian kezuhudan, penyerahan diri total pada Sang Maha Pencipta, Allah Azza wa Jalla. Kefakiran yang berarti kemuliaan yang mampu memalingkan seseorang dari tipu daya dunia yang menenggelamkan iman dan takwa. Kefakiran yang dijalani dengan kalbu yang riang gembira serta jiwa yang tenang nan damai. Kefakiran yang lebih suka memberi daripada menerima. Kefakiran yang memilih segala sesuatu dengan adil. Kefakiran yang berarti kepatuhan pada-Nya.
Sedang kefakiran kedua, yang kepada Allah Rasulullah berlindung darinya, adalah kefakiran yang dapat mendekatkan pada kefasikan dan kemungkaran. Kefakiran yang memperkeruh kalbu dan menjauhkan ilmu, hikmah, kebajikan, kesabaran, qana’ah, dan tawakal pada Allah. Itulah seburuk-buruknya kefakiran.
Itu adalah sudut pandang yang saya ambil dari dunia Sufi. Sebuah peringatan patut dicamkan, bahwa jika seseorang menjadi ujub dengan kefakirannya, maka ia lebih buruk daripada orang yang bangga dengan kekayaannya. Semoga kita semua terhindar darinya.
Maka segera tengoklah Indonesia. Dimana kaum fakir nan miskin bertumbuh kembang dimana-mana. Dimana para fakir itu justru dipimpin oleh pemimpin-pemimpin yang kaya-raya, dikuasai oleh penguasa-penguasa yang bergelimang harta, didakwahi oleh juru dakwah yang tak sedikit pula dari mereka yang mengkomersialkan dakwahnya. Padahal, tak ada satu jenis manusiapun di bumi ini (selain Nabi dan Rasul) yang ketabahannya dan sikap nerimo-nya melebihi kaum fakir, terlebih fakir Indonesia. Namun adakah para fakir itu riang gembira sebagaimana kefakiran yang didambakan Rasulullah, kefakiran yang bermakna kesederhanaan dengan kesadaran penuh dan keikhlasan total padanya?
Tak mudah menjawabnya. Saya hanya bisa menjawab bahwa: kefakiran yang terjadi di negeri ini kebanyakan bukanlah kefakiran semacam itu, namun lebih dari sebentuk pem-fakir-an yang dilakukan negara, pemerintah, dan warga negaranya yang mampu. Amat bodoh ketika kita harus menceramahi para fakir Indonesia, “Hai orang fakir! Bergembiralah kamu dengan kemiskinanmu, niscaya Allah akan memasukkanmu ke Surga!” Sungguh itu lebih menjurus pada sebentuk pemaksaan, ketakpedulian, kezaliman, dan kebodohan luar biasa yang kita kemas secara agamis. Alasan yang lebih gamblang; kita sebetulnya tak pernah mampu mengatasi kefakir-miskinan saudara-saudara kita.
Nabi Muhammad mencintai kesederhanaan dan beliau amat berbeda dengan para penyeru kesederhanaan Indonesia, yang berkhotbah soal kesederhanaan padahal tidak ada satu aspekpun dalam hidupnya yang bisa disebut sederhana, yang bahkan untuk memberi yang lemahpun tidak. Itulah kemunafikan. Nabi SAW menyeru hidup sederhana, dan beliau benar-benar hidup sederhana dalam artian yang amat harfiah. Begitu pula sang zahid Umar ibn Khattab, pemimpin besar umat Islam yang hidup amat miskin dan meneladankan pada jutaan orang tentang hakekat kesederhanaan. Dan kemudian yang terjadi adalah sebagian umat, dengan kesadaran penuh, menerima jalan kefakiran sebagaimana yang didamba Rasulullah, dengan sikap ikhlas dan riang gembira, sebab baginya telah tercipta satu tatanan kehidupan yang adil dan makruf, yang telah diperjuangkan oleh pemimpin-pemimpin mereka yang ahli zuhud. Itulah yang disebut jalan kefakiran ber-backing keikhlasan, bukan jalan pem-fakir-an berlabel retorika agama.